(Isolation of Chitinase From Scleroderma columnare and Trichoderma harzianum)
S.K. Susi Wijaya
Staf PengajarJurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Jember
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
ABSTRACT
was extracted using three solvent, e.q ammonium sulfate, ethanol, and acetone. Purification of chitinase was
aimed for decreasing chitinase activity, but it will increase specific activity. The most effective extractor for
extraction of chitinase was ammonium sulfate, because it yielded the most pure chitinase. T. harzianum
produces chitinase more pure than S. columnare.
Keywords: chitinase, Scleroderma columnare, Trichoderma harzianum
harzianum adalah cendawan yang dapat
menghasilkan kitinase (Ulhoa dan Peberdy,
1991; Zimand et al., 1994). S. columnare
merupakan cendawan ektomikoriza yang
memberikan harapan dalam meningkatkan
kualitas bibit tanaman. Cendawan tersebut
dapat bersimbiosis dengan akar tanaman dan
menghasilkan kitinase yang berperan sebagai
pertahanan diri tanaman dalam melawan
penyakit. T. harzianum adalah cendawan
nonmikoriza yang dapat menghasilkan kitinase,
sehingga dapat berfungsi sebagai pengendali
penyakit tanaman.
Kitinase merupakan enzim ekstraseluler
yang dihasilkan oleh cendawan dan bakteri
(Tsujibo et al., 1992) serta berperan penting
dalam pemecahan kitin. Enzim adalah protein
yang diproduksi oleh sel hidup dan digunakan
untuk mengkatalisis reaksi kimia yang spesifik.
Kitin (homopolimer ikatan b-1,4 dari Nasetilglukosamin)
merupakan komponen
struktural dari sebagian besar dinding sel
cendawan patogen (Yanai et al., 1994) dan
polisakarida struktural terbesar penyusun
utama kerangka luar udang dan serangga.
Kitinase dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan
b-1,4 homopolimer N-asetilglukosamin
menjadi monomer N-asetilglukosamin.
Metode yang umum dilakukan untuk
pemisahan enzim adalah dengan menggunakan
garam (salting-out). Garam yang sering
digunakan adalah amonium sulfat.
Penggunaan garam tersebut memberikan
beberapa keuntungan, antara lain dapat
digunakan pada pH tinggi (pH > 10), kelarutan
dalam air tinggi (533 g/L pada suhu 20 oC), dan
tidak beracun. Pelarut organik juga dapat
digunakan untuk pemisahan enzim.
Keuntungan pengendapan dengan pelarut
organik adalah dapat digunakan pada suhu 0 oC
(Aunstrup, 1979; Bollag dan Edelstein, 1991).
Penelitian ini bertujuan memurnikan
kitinase kasar dari S. columnare dan
T. harzianum. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang
pengekstrak yang efektif untuk penentuan
aktivitas kitinase serta perbedaan aktivitas
enzim cendawan mikoriza dan nonmikoriza.
Lapisan spora biakan murni S. columnare dan
T. harzianum diambil dengan jarum inokulasi
steril dan ditunbuhkan pada medium potato
dextrose agar (PDA) selama empat minggu
untuk S. columnare dan satu minggu untuk
T. harzianum pada suhu kamar. Lapisan
miselia masing-masing cendawan yang tumbuh
pada media PDA dipotong persegi dengan
ukuran 0,4 ´ 0,4 cm.
Produksi Enzim
Lapisan spora dari medium PDA ditumbuhkan
dalam media malt extract (ME) pH 6,2 yang
mengandung koloidal kitin selama empat
minggu untuk S. columnare dan satu minggu
untuk T. harzianum. Sebagai kontrol, masingmasing
cendawan ditumbuhkan pada media
ME pH 6,2 tanpa koloidal kitin.
Pemurnian
Setelah masing-masing dikocok selama dua
jam, kedua kultur cendawan disentrifugasi
dengan kecepatan 10000 ´ g selama 10 menit
pada suhu 4 oC. Enzim kasar yang diperoleh
(supernatan) dimurnikan dengan ekstraksi dan
kromatografi filtrasi gel. Supernatan
dipisahkan dan diendapkan dengan tiga
metode, yaitu penambahan amonium sulfat
jenuh 80 % b/v, etanol 50 % v/v, dan aseton 50
% v/v.
Supernatan ditambahkan bahan pengendap
sambil dikocok selama 30 menit. Campuran
didiamkan semalam pada suhu 4 oC, lalu
disentrifus dengan kecepatan 10000 ´ g selama
10 menit pada suhu yang sama. Endapan
dipisahkan dan dilarutkan dalam bufer fosfat
pH 6,2. Hasil ekstraksi kemudian dimurnikan
dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel
Sepharose 6B dalam bufer fosfat pH 6,2.
Penentuan Aktivitas
Larutan enzim sebanyak 1,0 mL ditambahkan
ke dalam 1,0 mL koloidal kitin 1 % v/v dalam
bufer fosfat pH 6,2. Setelah campuran
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit,
campuran ditambahkan 4 mL dinitrosalisilat
(DNS) dan dipanaskan dalam air mendidih
selama lima menit. Campuran didinginkan
pada suhu kamar dan diukur serapannya pada
panjang gelombang 540 nm (Monreal dan
Reese, 1968). Aktivitas kitinase dihitung
berdasarkan N-asetilglukosamin yang
terbentuk dari hidrolisis kitin
Satu unit (U) aktivitas enzim setara dengan 1
mmol N-asetilglukosamin yang dihasilkan
selama 1 menit.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan acak lengkap
faktorial 2 ´ 3. Rancangan ini terdiri dari dua
faktor, yaitu faktor cendawan dengan dua taraf
dan faktor perlakuan ekstraksi dengan tiga
taraf. Untuk masing-masing perlakuan diulang
sebanyak tiga kali.
Model matematika yang digunakan adalah
seperti pada persamaan berikut.
Yij = m + ai + eij...............(2)
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i
ulangan ke-j
m = nilai tengah umum
ai = pengaruh perlakuan ke-i
eij = pengaruh sisa dari perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan uji
wilayah berganda Duncan 5 %.
Pada media PDA S. columnare tumbuh
berbentuk bulat dengan warna kecoklatan dan
mengeluarkan metabolit berwarna coklat.
T. harzianum tumbuh pada media PDA
menghasilkan koloni berwarna putih dengan
permukaan mula-mula halus seperti kapas,
kemudian kekuningan, dan membentuk
kelompok berwarna hijau.
S. columnare dan T. harzianum
ditumbuhkan pada media ME pH 6,2 untuk
produksi kitinase, karena menurut Yamagami
dan Funatsu (1993) enzim tersebut stabil pada
pH antara 4,0-8,0. Substrat koloidal kitin pada
media ME berfungsi sebagai sumber karbon
(Cruz et al., 1992) dan untuk merangsang
produksi kitinase (Garcia et al., 1994). Dengan
adanya substrat tersebut, S. columnare tidak
menghasilkan metabolit berwarna coklat. Hal
ini menunjukkan S. columnare memproduksi
kitinase dan mensekresikannya ke dalam
medium. Keberadaan suatu substrat dapat
memacu suatu mikroorganisme untuk
mensekresi metabolit selnya (Boing, 1982).
T. harzianum tidak menghasilkan metabolit
berwarna. Untuk mengetahui produksi kitinase
dari T. harzianum dapat dilihat dari warna
medium menjadi lebih transparan (berkurang
kecoklatannya).
Berdasarkan lokasinya, kitinase termasuk
enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluer adalah
enzim yang dihasilkan di dalam sel, tetapi
dikeluarkan ke medium tumbuhnya.
Pemisahan kitinase relatif mudah, karena sel
cendawan tidak perlu dihancurkan lebih dahulu
untuk mengekstrak kitinase. Kitinase
dipisahkan dari sel cendawan dengan metode
sentrifugasi. Sel cendawan akan mengendap
dan enzim akan terlarut dalam supernatan.
Protein, khususnya enzim mudah sekali
terdenaturasi oleh panas. Pada umumnya protein hanya berfungsi aktif secara biologis
pada pH dan suhu tertentu.
Untuk menghindari denaturasi protein, kitinase
diisolasi dengan metode sentrifugasi dalam
keadaan dingin (4 oC). Pada suhu tersebut
denaturasi protein dapat dihindarkan.
Aktivitas kitinase sebelum perlakuan
ekstraksi pada S. columnare dan T. harzianum
menunjukkan nilai yang hampir sama (Tabel
1). Berdasarkan uji statistika, aktivitas awal
kitinase pada kedua cendawan tidak berbeda
nyata antar kelompok perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan masingmasing
cendawan dapat dikatakan sama,
sehingga memperlihatkan hasil aktivitas awal
kitinase yang sama. Aktivitas kitinase setelah
tahap ekstraksi dan filtrasi gel hanya
bergantung pada pengekstrak yang digunakan
pada tahap ekstraksi. Setelah ekstraksi,
aktivitas kitinase dari S. columnare dan
T. harzianum berbeda nyata. Aktivitas kitinase
dari S. columnare lebih rendah daripada
T. harzianum. Demikian juga setelah tahap
filtrasi gel, aktivitas kitinase dari S. columnare
lebih rendah daripada T. harzianum. Hal ini
berarti kitinase dari T. harzianum lebih mudah
untuk diekstrak dengan bahan pengekstrak
yang diuji daripada kitinase dari S. columnare.
Pemurnian Kitinase
Metode ekstraksi merupakan tahap awal dari
pemurnian kitinase. Ekstraksi bertujuan untuk
memisahkan enzim dari partikel non-enzim
yang masih bercampur. Penambahan garam
atau pelarut organik dilakukan untuk
mengendapkan protein. Tabel 2 menunjukkan
aktivitas kitinase awal dan hasil ekstraksi.
Aktivitas kitinase terbesar setelah ekstraksi
untuk kedua cendawan adalah dengan
menggunakan amonium sulfat. Etanol dan
aseton menghasilkan aktivitas kitinase yang
rendah. Berdasarkan hasil uji Duncan, aktivitas
kitinase hasil ekstraksi dengan amonium sulfat
berbeda nyata baik dengan aktivitas kitinase
hasil ekstraksi dengan etanol maupun dengan
aseton. Aktivitas kitinase hasil ekstraksi
dengan etanol berbeda nyata dengan aktivitas
hasil ekstraksi dengan aseton (tabel 3).
Amonium sulfat, etanol, dan aseton
memberikan pengaruh yang sama terhadap
pengendapan protein, yaitu dengan cara
mempengaruhi aktivitas air.
Amonium sulfat lebih mampu
mengendapkan protein enzim dibandingkan
dengan etanol dan aseton. Amonium sulfat
yang digunakan adalah larutan amonium sulfat
jenuh 80% b/v. Konsentrasi ion-ion amonium
sulfat yang tinggi menyebabkan muatan listrik
di sekitar molekul protein meningkat dan
menarik mantel air yang ada di sekeliling
molekul protein, sehingga kelarutan protein
menurun. Air yang tersedia tidak cukup untuk
melarutkan protein karena adanya persaingan
antara protein dan garam untuk berikatan
hidrogen dengan air. Pada konsentrasi rendah,
ion-ion amonium sulfat akan melindungi
molekul protein dan mencegahnya bersatu,
sehingga akan meningkatkan kelarutan
protein.Etanol dan aseton mempengaruhi
aktivitas air dengan cara mereduksi kelarutan
protein, sehingga terjadi agregasi dan
pengendapan. Struktur air di sekeliling area
hidrofobik pada permukaan protein dapat
ditempati oleh molekul pelarut organik,
sehingga agregasi terjadi akibat interaksi antara
muatan berlawanan pada permukaan protein.
Aktivitas Kitinase
Aktivitas kitinase setelah ekstraksi untuk kedua
cendawan lebih rendah daripada aktivitas awal
(gambar 1). Amonium sulfat menghasilkan
penurunan aktivitas kitinase yang paling
rendah untuk kedua cendawan, yaitu 62 %
untuk S. columnare dan 52 % untuk
T. harzianum. Etanol dan aseton menghasilkan
penurunan kitinase masing-masing 70 % dan
67 % untuk S. columnare , sedangkan untuk
T. harzianum kedua pengekstrak memiliki nilai
yang sama (54 %). Hal ini menunjukkan
bahwa kitinase lebih stabil bila diendapkan
dengan menggunakan amonium sulfat.
Aktivitas enzim setelah dipekatkan
menunjukkan penurunan. Hal ini diduga ada
sebagian kitinase yang tidak terekstrak oleh
bahan pengekstrak. Selain itu, ada sebagian
protein yang terdenaturasi selama ekstraksi
berlangsung.